Image Hosting

Untuk Memperjuangkan Hak Pedagang

Rabu, 26 Januari 2011

Latar Belakang Terbentuknya SPKL 

Pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Lubuklinggau berkembang pesat. Seiring dengan itu muncul ide dari para pedagang untuk membentuk organisasi, tujuannya untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Apa yang melatar belakangi sehingga terbentuknya SPKL berikut laporanya.


Muhammad Yasin, Pasar Permiri

Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) selalu menjadi masalah diperkotaan. Bahkan PKL disejumlah kota-kota besar di Indonesia menjadi ‘musuh’ petugas trantif. Fenomena tersebut menjadi pemicu pemikiran dari kalangan pedagang untuk membentuk organisasi atau perkumpulan guna memperjuangkan hak mereka.
Menurut Junaidi, keberadaan PKL sebenarnya sangat membantu pemerintah karena juga berperan menurunkan angka pengangguran. “Jumlah PKL yang terdata SPKL mencapai 1.800 orang, bayangkan jika tidak ada PKL berapa jumlah angka pengangguran di Kota Lubuklinggau. Disamping itu keberadaan PKL juga menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari karcis retribusi pasar yang dibayar pedagang setiap hari. PKL mentaati kewajiban membayar retribusi, sementara hak pedagang tidak ada yang membela maka dari itu muncula ide untuk membentuk organisasi,” kata suami Rusdiana, Selasa (25/1).
Sebelum terbentuk Serikat Pedagang Kaki Lima (SPKL) sebenarnya kelompok PKL sudah ada organisasi masing-masing. “Sebelum ada SPKL saya menjadi Ketua Persatuan Sinar Cahaya Buah (PSCH) berdiri pada 2002,” ucap ayah memiliki 2 orang putra dan satu putri ini.
Seiring berjalannya waktu pada 2005 terbentuklah SPKL atas ususulan pedagang, sehingga koordinator masing-masing kelompok pedagang diantaranya pedagang di Lapangan Merdeka (Lapmer), kelompok pedagang sayur termasuk IKPTK (Ikatan Keluarga Pedagang Terminal Kalimantan, red) menjadi pengurus SPKL.
“Sehingga SPKL ditetapkan sebagai induk dari seluruh organisasi pedagang. Terbentuknya SPKL tepatnya pasca peristiwa pembakarang mobil Pol-PP di Terminal Kalimantan saat penertiban memindahkan pedagang ke Terminal Pasar Atas,” cerita ayah Reza Junanda (16), James Okta Mega Rahman Wahid Amin (10) dan Seltia Maharani (5).
Setelah dilakukan proses pemilihan ketua oleh masing-masing koordinator pedagang singkat ceita, Junaidi terpilih secara aklamasi saat itu. Setelah pria kelahiran Lubuklinggau, 4 Mei 1974 menjadi Ketua SPKL ia ingin meningkatkan intelektual pedagang secara bertahap. “Untuk itu PKL perlu mengikuti pelatihan, sementara itu tidak ada pembinaan dari pemerintah. Saya punya kiat sendiri untuk meningkatkan kemampuan intelektual bedagang yakni dengan mengadakan forum rapat, dengan demikian intelektual pedagang akan terbentuk dengan sendirinya. Karena dalam pertemuan tersebut ada dialog, sharing (tukar pikiran). Sehingga pedagang mampu berkomunikasi dalam forum,” paparnya warga yang bermukim di Lorong Sani No. 23 RT 05 Kelurahan Cereme Taba, Kecamatan Lubuklinggau Timur II.
Kiat tersebut ia terapkan berbekal pengalaman menjadi pengurus salah satu Partai Politik (Parpol) besar di Indonesia. “Berbekal pengalaman menjadi pengurus partai sehingga saya menerapkan pola tersebut,” ungkapnya. Junaidi, selalu mengadakan rapat di ke diamannya. “Karena kami tidak ada sekretariat kalau ingin rapat tema-teman saya undang ke rumah,” ungkapnya.
Junaidi juga sempat menceritakan suka duka setalah menjadi Ketua SPKL. “Saya pernah dikatakan orang bodoh, sok pintar, provokator. Saya juga perna didatangi dan diancam oleh pedagang gara-gara tempatnya terusik (ditertibkan, red). Memang lahirnya SPKL dilatarbelakangi untuk membela hak pedagang, bukan berarti harus ‘menabrak’ peraturan. Saya selaku ketua organisasi mesti menyampaikan informasi yang benar kepada anggota walau pun itu pahit. Peran organisasi itu memperjuangkan hak pedagang ketika diusir tidak ada solusi, itu yang kita perjuangkan. Kalau ada solusinya organisasi menyampaikan informasi yang benar dan tidak mengaburkan informasi,” paparnya.
Junaidi tergolong cukup kreatif dan terbilang sukses merintis dagang buah. Ia pencetus berdagang buah keliling dengan merekruat binaan, jika buah yang di jajakan tidak laku dikembalikan kepadanya. Setelah banyak agen buah yang mengikuti jejak tersebut ia mencari ide kreatiaf menjual buah menggunakan mobil.
“Awalnya setiap musim duku banyak pedagang yang menjajakan duku di atas mobil tanpa mesin. Dulukan banyak pedagang duku di atas mobil tanpa mesin berjejer di Jalan Kalimantan. Namun untuk pedagang buah lain seperti apel, semangka dan lain-lain belum ada yang berjualan di atas mobil, saya yang memulainya. Kini sudah banyak menyebar hingga ke Kelurahan Taba Pingin,” ceritanya.
Untuk diketahui berdasarkan Situs Wikipidia Bahasa Indonesia, kata Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.(*)

0 komentar

Posting Komentar

Image and video hosting by TinyPic
Image Hosting

Pak Luuuuuuuuuurrrr...!!!

Tivi Dewek
“Mekak kite laade tivi dewek lamulai tayang dan pacak noton bola,” Kate Mamad. “Name hetu mad, tivi dewek tu, awo musim bola” tanye Pak Lur.
“La tula we tipi wang kite kak ugek acara tv gok wang aseng tua,’ uji Mamad. “Wai la pakam nia man tu, pacak le kite kak noton tivi dewek men gek tu,” uji Pak Lur.
“Nah biaso’a wang mosem bola kak benyak nobar,’ uji Mamad. “ lah nobar le nga kak, ape nobar tu” uji Pak Lur.
“Lah nonton bareng, uji wang mekak tu” kate Mamad. “Ah col kade mad, nak gek nobar nia mun de tivi dewek noton dewek,’ kate Pak Lur. “Nah pi hare le mun col antena e, masih nak nobar le” kate Mamad.(*)

    ARSIP BERITA